Warga Ruko Marinatama Gugat Demi Keadilan dan Harapan, Minta Kemenhan Hadir di Sengketa

Beritareportase.com – Sidang lanjutan perkara sengketa lahan Ruko Marinatama (Marina) Mangga Dua, Jakarta Utara, perkara dengan nomor 236/G/2025/PTUN.JKT kembali digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur. Sebanyak 42 penghuni ruko menggugat Induk Koperasi Angkatan Laut (Inkopal) terkait penerbitan sertifikat hak pakai atas lahan yang mereka tempati sejak akhir 1990-an.

Para warga, melalui kuasa hukum mereka Subali, S.H., menilai penerbitan sertifikat hak pakai tersebut cacat prosedur karena menyalahi komitmen awal yang menjanjikan penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) bagi para pembeli. Sengketa ini kini memasuki tahap pembuktian gugatan pembatalan sertifikat hak pakai, meskipun sidang sempat tertunda karena adanya dokumen tambahan dari para pihak.

Persoalan bermula ketika puluhan warga membeli dan menempati ruko Marinatama sejak tahun 1997 dengan keyakinan bahwa mereka akan memperoleh SHGB. Namun setelah puluhan tahun berlalu, sertifikat yang dijanjikan tidak pernah terbit.

Warga Ruko Marinatama Gugat Demi Keadilan dan Harapan, Minta Kemenhan Hadir di Sengketa

Ketika beberapa warga mencoba mengurus SHGB secara mandiri, mereka justru mendapati bahwa lahan tempat mereka berdiri sudah memiliki sertifikat hak pakai atas nama pihak lain. Fakta ini menjadi dasar gugatan ke PTUN Jakarta agar sertifikat tersebut dibatalkan.

“Yang kami uji bukan soal benar atau tidaknya kepemilikan, tapi prosedur penerbitan hak pakai yang kami nilai bertentangan dengan aturan,” ujar Subali, S.H. seusai sidang (12/11/2025).

Dalam wawancara usai sidang, pengacara Subali, SH menegaskan bahwa pihaknya menyoroti aspek hukum konversi tanah negara menjadi Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Ia merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1965 serta Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 sebagai dasar hukum.

“Seharusnya tanah negara dikonversi menjadi HPL atas nama Kementerian Pertahanan dulu, baru bisa dilekati HGB. Tapi yang terjadi, langsung dijadikan hak pakai. Itu jelas keliru dan melanggar prosedur,” ungkap Subali, SH.

Menurut Subali, SH konversi yang salah prosedur ini membuat komitmen awal antara warga dan Inkopal menjadi terputus. Akibatnya, warga yang telah menempati lahan selama puluhan tahun kehilangan hak legal atas tempat usaha mereka.

Majelis hakim dalam sidang kelima menegaskan pentingnya kejelasan isu hukum yang diperdebatkan. Ketua majelis menyampaikan bahwa hanya saksi dan ahli yang relevan dengan pokok perkara yang akan diterima.

“Para pihak harus tahu isu hukum apa yang diangkat. Kehadiran saksi populer boleh saja, tapi tidak bisa hanya satu saksi tanpa pendukung. Majelis hanya akan menerima keterangan yang relevan dengan fakta hukum,” tegas hakim.

Majelis juga mengingatkan agar para pihak tidak membawa isu di luar konteks hukum tata usaha negara (TUN). “Jika ada area yang abu-abu, silakan hadirkan ahli untuk memberikan pendapat hukum. Tapi jangan sampai proses pembuktian jadi tidak profesional,” lanjutnya.

Sementara proses hukum masih berjalan, sejumlah warga mengaku menerima surat peringatan dari Inkopal untuk mengosongkan ruko. Bahkan, beberapa di antara mereka mengaku mendapat teror dari orang tak dikenal usai menghadiri persidangan.

“Kami hanya ingin proses hukum berjalan adil tanpa tekanan. Jangan ada penggusuran sebelum ada putusan berkekuatan hukum tetap,” ujar salah satu warga yang enggan disebut namanya.

Warga Ruko Marinatama Gugat Demi Keadilan dan Harapan, Minta Kemenhan Hadir di Sengketa

Kuasa hukum Subali, SH menegaskan, tindakan pengosongan lahan tanpa dasar hukum jelas merupakan pelanggaran hukum. “Dalam negara hukum, pengosongan harus berdasarkan penetapan eksekusi dari pengadilan. Tidak boleh sepihak,” katanya.

Sebagai langkah persuasif, warga melalui kuasa hukum telah melayangkan surat audiensi kepada Menteri Pertahanan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin pada 29 Oktober 2025. Surat tersebut berisi permohonan agar Kementerian Pertahanan bersedia menjadi mediator antara warga dan Inkopal guna mencari jalan tengah.

Surat yang ditembuskan juga ke majelis hakim dan panitera PTUN Jakarta itu ditandatangani oleh 42 warga dan perwakilan badan hukum penghuni ruko Marinatama, yang sebagian besar berprofesi sebagai wiraswasta dan pengusaha kecil-menengah.

“Kami ingin membangun komunikasi kekeluargaan dengan Kemenhan. Kami masih percaya bahwa TNI untuk rakyat, dan rakyat juga dilindungi oleh TNI, seperti disampaikan Menhan dua minggu lalu,” tutur Subali, SH.

Hingga berita ini ditulis, pihak Kementerian Pertahanan belum memberikan tanggapan resmi atas surat permohonan tersebut.

Sidang berikutnya dijadwalkan pada minggu depan dengan agenda pemeriksaan saksi ahli. Subali, SH menyampaikan bahwa pihaknya telah menghubungi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) untuk menghadirkan ahli konversi tanah. “Saksi ahli yang kami siapkan adalah dosen senior yang kredibel. Kami berharap keterangannya bisa memberi pencerahan hukum bagi majelis,” ujarnya.

Meski berharap perkara dapat diselesaikan di meja hukum, Subali, SH tetap menekankan pentingnya jalur damai. “Perdamaian adalah hukum tertinggi. Tapi harus dijalankan dengan rasa keadilan dan penghormatan terhadap hukum”, katanya.

Dari perspektif hukum tata usaha negara, perkara ini menyoroti batas kewenangan instansi negara dalam menerbitkan sertifikat atas tanah negara. Jika benar terjadi penyimpangan prosedural dari tanah negara menjadi hak pakai tanpa melalui mekanisme HPL, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai cacat administratif.

Hasil dari persidangan ini berpotensi menjadi preseden penting dalam sengketa tata usaha negara yang melibatkan aset pertahanan dan warga sipil.

Kasus sengketa lahan Ruko Marinatama menjadi potret kompleksitas hukum agraria di Indonesia ketika aspek legal, sosial, dan institusional berkelindan dalam satu arena pengadilan. Warga berharap negara hadir bukan hanya sebagai pihak yang memegang kuasa, tetapi juga sebagai penjamin keadilan dan perlindungan hukum bagi rakyatnya.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours