Lebaran Ketupat Tradisi Jawa Menyimpan Makna Budaya dan Spiritual Mendalam

Jakarta (BeritaReportase) :

Seminggu setelah euforia Idul Fitri mereda, suasana hangat masih terasa di banyak daerah Jawa. Bukan karena sisa opor atau lontong sayur semata, tapi karena momen spesial bernama Lebaran Ketupat, atau yang akrab disebut Bakda Kupat. Tepatnya jatuh pada 7 Syawal, tradisi ini bukan sekadar makan-makan—ia menyimpan makna budaya dan spiritual yang dalam.

Semua berawal dari puasa Syawal. Banyak orang memulai puasanya di tanggal 2 Syawal, langsung setelah hari pertama Lebaran. Kalau dilakoni selama enam hari penuh, maka 7 Syawal adalah hari kemenangan kecil yang baru. Di sinilah ketupat hadir, bukan cuma sebagai makanan khas, tapi simbol selebrasi. Makan ketupat setelah menyelesaikan puasa Syawal? Rasanya afdol banget!

Namun tenang, puasa Syawal bukan lomba cepat-cepatan. Nggak harus tanggal 2 sampai 7 kok. Boleh juga dicicil, dipisah, atau disesuaikan dengan kondisi. Apalagi bagi yang masih punya utang puasa Ramadan, tentu lebih utama menyelesaikannya dulu.

Kupat, Simbol Luhur Penuh Filosofi

Kata “kupat” ternyata bukan cuma soal makanan. Dalam filosofi Jawa, kupat adalah singkatan dari ngaku lepat dan laku papat.

Artinya? Ngaku lepat berarti mengakui kesalahan, sedangkan laku papat adalah empat laku kehidupan: Lebaran, puasa Syawal, zakat, dan halal bihalal. Dalam satu butir ketupat, tersimpan pesan spiritual yang kaya.

Yang paling khas dari Lebaran Ketupat adalah suasana guyub. Keluarga dan tetangga saling berkunjung, saling memaafkan, lalu duduk bareng menikmati ketupat, opor ayam, sambal goreng ati, dan ragam hidangan khas lainnya.

Ini bukan sekadar makan besar, tapi perayaan kebersamaan dan rasa syukur.

Warisan Sunan Kalijaga yang Tetap Relevan

Tradisi Lebaran Ketupat bukan hal baru. Dalam sejarah, Sunan Kalijaga memperkenalkannya sebagai bentuk dakwah kultural. Ia mengemas nilai-nilai Islam dalam budaya lokal, menciptakan jembatan yang lembut antara ajaran dan kebiasaan masyarakat. Hingga kini, pendekatan itu terbukti masih efektif—tradisi ini terus hidup, bahkan makin dirayakan.

Lebaran Ketupat adalah contoh bagaimana budaya dan agama bisa bersinergi dengan indah.

Di satu sisi, ia adalah tradisi spiritual yang mengajak refleksi dan silaturahmi. Di sisi lain, ia juga selebrasi kuliner yang bikin perut bahagia.

Karena sejatinya, di balik ketupat itu, ada niat baik, permohonan maaf, dan rasa syukur yang tak ternilai.

)**Yuli

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours