Jakarta (BeritaReportase) :
Pariwisata Indonesia tidak bisa lagi terjebak dalam bayang-bayang Pulau Jawa. Seruan tegas ini datang dari Wakil Ketua Komite III DPD RI, Dailami Firdaus, dalam Rapat Kerja bersama Kementerian Pariwisata di Gedung DPD RI, Rabu (30/4). Ia mengingatkan: pembangunan sektor wisata harus menyentuh seluruh penjuru negeri, terutama wilayah yang selama ini dianaktirikan—Kalimantan dan Papua.
“Pembangunan pariwisata jangan hanya di Jawa! Kalimantan dan Papua punya kekayaan luar biasa yang belum tergarap optimal,” tegas Dailami dalam nada prihatin namun penuh desakan.

Indonesia Bukan Hanya Jawa
Kekayaan budaya dan alam Indonesia tersebar dari Sabang sampai Merauke, bukan hanya berpusat di Yogyakarta atau Bali. Tapi fakta di lapangan berkata lain. Infrastruktur, promosi, hingga investasi masih tertumpuk di Jawa. Ketimpangan ini bukan sekadar masalah persepsi—ini soal keadilan pembangunan.
Komite III DPD RI melihat pariwisata sebagai tulang punggung ekonomi rakyat. Sektor ini terbukti menyerap 25 juta tenaga kerja, memompa investasi hingga 3,1 miliar USD di 2024, dan menciptakan efek domino bagi UMKM, transportasi, hingga pertanian lokal.
Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri Wardhana, memaparkan lonjakan menggembirakan: kunjungan wisatawan mancanegara naik 19% pada 2024, mencapai 2,2 juta orang. Wisatawan domestik pun tak kalah agresif—melonjak 21,7% dalam setahun.
Target ambisius sudah dicanangkan: 23,5 juta wisatawan asing dan 1,5 miliar pergerakan wisatawan nusantara pada 2029. Tapi pertanyaannya—apakah pertumbuhan ini menyentuh daerah-daerah yang paling membutuhkan?
Untuk menjawab tantangan itu, Kemenparekraf meluncurkan lima program unggulan:
- Gerakan Wisata Bersih: sanitasi dan kolaborasi dengan pemda.
- Tourism 5.0: integrasi AI dan digitalisasi wisata.
- Pariwisata Naik Kelas: angkat pamor kuliner lokal.
- IP Event: promosi kekayaan budaya berbasis hak kekayaan intelektual.
- Desa Wisata: penggerak ekonomi dari desa untuk dunia.
“Program desa wisata adalah ujung tombak keadilan pembangunan,” kata Widiyanti penuh keyakinan.

Ketimpangan dan Pelanggaran
Namun, rapat kerja juga mengungkap sisi gelap pariwisata Indonesia. Senator Kalimantan Timur, Aji Mirni Mawarni, mengungkap ironi: Desa Wisata Lung Anay berdiri di atas lahan konsesi tambang dan perkebunan.
“Ini pelanggaran serius! Bagaimana bisa lahan konsesi dijadikan destinasi wisata?” serunya geram.
Di sisi lain, Bali menghadapi masalah sebaliknya: overtourism. Senator Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra menyoroti menjamurnya guest house ilegal yang menggerus hotel resmi.
“Sharing economy tanpa regulasi hanya untungkan investor asing. Warga lokal dirugikan!” tegasnya.
Rapat kerja ini jadi sinyal kuat bahwa transformasi pariwisata Indonesia harus lebih dari sekadar data kunjungan dan target investasi. Ia harus berpihak: pada daerah tertinggal, pada rakyat kecil, pada alam dan budaya.
Indonesia butuh visi pariwisata yang holistik—yang tidak bias Jawa, tidak mengorbankan aturan, dan tidak sekadar mengejar angka.
)**T.Bams
+ There are no comments
Add yours