Jakarta (BeritaReportase) :
Warisan budaya bukan sekadar koleksi benda atau tradisi lama. Ia adalah napas sejarah, cermin jati diri, dan denyut hidup masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Di tengah derasnya arus modernisasi, Komite III Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) mengingatkan: pelestarian budaya tak bisa lagi ditunda. Ini bukan hanya soal identitas, tapi juga keberlangsungan masa depan bangsa.
Pesan itu ditegaskan dalam Rapat Kerja Komite III DPD RI bersama Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, pada Rabu (7/5) di Gedung DPD RI, Jakarta. Agenda penting itu membahas dua hal krusial: inventarisasi pelindungan budaya Nusantara dan program prioritas Kementerian Kebudayaan RI untuk tahun 2025.
“Warisan budaya adalah kekayaan tak ternilai yang membentuk fondasi jati diri bangsa. Jika kita abai, kita kehilangan arah,” tegas Wakil Ketua Komite III DPD RI, Dailami Firdaus, yang memimpin rapat bersama rekan sejawatnya, Jelita Donal dan Erni Daryanti.

Data mencatat, hingga 2024, Indonesia telah menetapkan 2.213 warisan budaya tak benda. Jumlah itu melonjak dari 1.941 pada akhir 2023, dengan tambahan 272 budaya baru yang direkomendasikan. Sejak 2008, sebanyak 15 di antaranya telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Bahkan, Indonesia kini menjadi pemegang terbanyak situs warisan dunia di Asia Tenggara—total sembilan situs.
Namun angka itu menyisakan tanya: apakah pelestarian berjalan seimbang dengan pengakuan?
“Kita tidak boleh hanya mengejar kuantitas. Banyak cagar budaya yang masih terbengkalai. Padahal, budaya bisa menjadi sumber ekonomi yang luar biasa jika dikelola dengan baik,” ujar Dailami penuh keprihatinan.
Fadli Zon, yang kini menjabat Menteri Kebudayaan RI, menyambut baik dorongan tersebut. Ia menegaskan, arah kebijakan kementeriannya akan sejalan dengan Astacita Presiden Prabowo, yaitu menjadikan kebudayaan sebagai fondasi pembangunan nasional.
“Budaya bukan hanya untuk dilestarikan, tapi juga harus menjadi kekuatan ekonomi. Ini saatnya budaya lokal bergerak sebagai penggerak ekonomi nasional,” kata Fadli dengan nada optimis.
Ia menegaskan, narasi besar pembangunan Indonesia ke depan harus berpijak pada kebudayaan sebagai perekat ke-Indonesiaan dan penguat identitas nasional.
Namun tantangannya tidak kecil. Dailami menyebut bahwa budaya tradisional saat ini berada di bawah tekanan zaman. Kurangnya dokumentasi, minimnya regenerasi pelaku budaya, hingga lemahnya dukungan kebijakan di daerah, menjadi deretan masalah serius.
“Kita kehilangan generasi penerus budaya jika tidak segera bertindak. Pemerintah pusat harus menyusun program yang berpihak dan peka terhadap kebutuhan di setiap daerah,” ujarnya dengan nada serius.
Ia menambahkan, pelestarian budaya bukan hanya tugas kementerian semata, tetapi membutuhkan sinergi kuat antara pemerintah, pelaku budaya, dan masyarakat.
Komite III DPD RI menekankan pentingnya penyusunan program kerja tahunan Kementerian Kebudayaan yang inklusif dan adil antarwilayah. Pendekatan partisipatif dan berbasis kebutuhan lokal menjadi kunci agar budaya tidak sekadar menjadi etalase, tapi hidup dan tumbuh di tengah masyarakat.
“Rapat ini bukan sekadar diskusi, tapi komitmen bersama. Kita ingin pembangunan kebudayaan ke depan berbasis kearifan lokal, menguatkan identitas bangsa di tengah dunia yang terus berubah,” tutup Dailami.
Pelestarian budaya bukanlah nostalgia. Ia adalah investasi untuk masa depan—agar anak cucu kita tetap bisa menari di irama gamelan, melukis di atas kain tenun, dan menyapa leluhur lewat doa dan tradisi.
)***T.Bams
+ There are no comments
Add yours