Beritareportase.com – Sengketa lahan antara warga Ruko Marinatama (Marina) Mangga Dua, Jakarta Utara dan pihak INKOPAL yang tengah disidangkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memasuki babak penting. Kuasa hukum warga, Subali, S.H., menegaskan bahwa perkara ini bukan semata soal kepemilikan, melainkan soal prosedur konversi tanah negara menjadi Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang dinilainya tidak sesuai aturan.
Yang kami uji bukan benar atau salah, tetapi tata cara hukum yang keliru. Kami ingin memastikan konversi tanah dilakukan sesuai Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965,” kata Subali, S.H.
Menurut Subali, S.H., tim hukumnya telah menyiapkan saksi ahli dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) yang memiliki keahlian di bidang hukum agraria dan tata ruang. Kehadiran saksi ahli ini diharapkan mampu memberi pandangan objektif kepada majelis hakim tentang prosedur konversi tanah negara yang dipersoalkan.

Selain jalur hukum, Subali, S.H., mengungkapkan bahwa pihaknya juga menempuh pendekatan kekeluargaan. Dua minggu lalu, timnya telah mengirim surat resmi kepada Menteri Pertahanan (Menhan) melalui kuasa hukum Herambang untuk membuka ruang komunikasi.
“Kami terinspirasi dari pernyataan Pak Menhan: ‘TNI adalah untuk rakyat, dan rakyat juga dilindungi oleh TNI.’ Itu sebabnya kami ingin menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin dan hati yang jernih”, tutur Subali, S.H.
Namun hingga saat ini, Subali, S.H., mengaku belum menerima undangan resmi untuk bertemu pihak Kementerian Pertahanan. Meski demikian, ia tetap berpegang pada prinsip bahwa perdamaian adalah hukum tertinggi.
Lebih jauh, Subali, S.H., menilai negara harus hadir dalam menyelesaikan persoalan semacam ini. Ia menegaskan bahwa dalam konteks pertanahan, keadilan tidak boleh hanya berhenti pada aspek formal hukum.
“Kami bekerja berdasarkan aturan, tetapi kami juga memahami kondisi sosial warga. Karena itu kami berupaya agar negara hadir sebagai jembatan, bukan sekadar penegak sanksi,” tegas Subali, S.H.
Selain itu Subali, S.H., juga menyoroti tindakan pengosongan lahan yang dilakukan tanpa penetapan eksekusi dari pengadilan negeri sebagai bentuk pelanggaran hukum. Menurutnya, warga yang menempati lahan tersebut telah memiliki sejarah panjang sebelum status tanah berubah menjadi HPL.
Dalam perkara ini, Subali, S.H., menilai terdapat kesalahan prosedural dalam konversi tanah negara menjadi hak pakai tanpa melalui tahapan HPL. Ia menjelaskan bahwa hak pakai tidak bisa langsung dilekati dengan Hak Guna Bangunan (HGB) karena bertentangan dengan aturan agraria.

“Prosedurnya yang keliru, bukan substansi kepemilikannya. Kalau tanah negara tidak digunakan oleh instansi, maka sesuai PP Nomor 9 Tahun 1965, tanah itu harus dikonversi menjadi HPL. Namun karena pemanfaatannya berubah, seharusnya dapat diterbitkan HGB di atas HPL agar adil bagi warga”, jelas Subali, S.H.
Oleh karena itu Subali, S.H., optimistis bahwa majelis hakim akan mempertimbangkan fakta hukum secara objektif. Ia berharap sidang pekan depan dapat menjadi momentum bagi semua pihak untuk memahami akar persoalan dan menemukan titik keadilan bersama.
Menutup pembicaraan, Subali, S.H., menyampaikan pesan yang mencerminkan pandangan humanisnya dalam praktik hukum. “Dalam negara hukum, jangan sampai kekuasaan menutupi kebenaran. Kami bukan mencari kemenangan, kami mencari keadilan.” pungkasnya.
Bagi Subali, S.H., hukum dan nurani seharusnya berjalan beriringan. Di tengah kompleksitas sengketa pertanahan di Indonesia, ia berharap kasus ini menjadi contoh bahwa perdamaian sejati lahir ketika hukum berpihak pada kemanusiaan.

+ There are no comments
Add yours